Movie Overview
Director: Steven S. DeKnightActors: Dustin Clare, Liam McIntyre, Manu Bennett
Genre: Action
Positives:
Akting
Liam McIntyre makin bagus, Crassus musuh yang kuat bagi Spartacus,
Kualitas pertempuran keren, Penutup yang memuaskan dan emosional
Negatives:
Beberapa adegan seks dipaksakan masuk, Hubungan drama pria-wanita hambarReview
Ketika pertama kali saya mendengar berita bahwa Starz akan membuat season ketiga Spartacus (atau keempat bila kamu menghitung Gods of the Arena sebagai satu season dan bukannya mini-seri) yang bertajuk War of the Damned menjadi season terakhirnya maka saya sedikit kecewa. Sejak season pertama Spartacus: Blood and Sand
saya sudah jatuh cinta pada serial ini dan hampir semua temanku yang
kurekomendasikan menontonnya pun menyukainya. Sentimen ini tak hanya
menjadi milikku melainkan banyak orang juga karena ini adalah serial
yang memiliki salah satu rating terbaik di Starz. Toh setelah
memikirkannya ulang saya bersyukur bahwa serial ini diakhiri sampai di
sini. Dalam sejarah memang pemberontakan Spartacus hanya berlangsung
selama dua tahun dan memperpanjangnya untuk waktu yang terlalu lama
rasanya malah membuatnya menjadi terlalu berulang-ulang.
Dengan kematian dari Batiatus dan Glaber, Lucretia dan Illythia maka semua lawan-lawan yang dihadapi oleh Spartacus dari dua season sebelumnya sekaligus yang membuatnya menjadi dipenjara telah mati dan hilang. Siapa yang pantas menjadi musuh Spartacus bila begitu? Steven S. DeKnight tak kehabisan akal dan membawakan kepada kita musuh paling epik dalam sejarah: Marcus Crassus. Apabila kalian pernah menonton film Spartacus versi Stanley Kubrick maupun membaca Wikipedia maka kalian tentu tahu bahwa Marcus Crassus adalah orang yang sukses menumpas pemberontakan dari Spartacus. Kejutan sesungguhnya dari DeKnight adalah mengikutkan sosok Gaius Julius Caesar sebagai antagonis sekunder serial ini. Mengejutkan karena walaupun Julius Caesar memang telah hidup di era pemberontakan itu dan nantinya berteman dengan Crassus di panggung politik Roma tetapi sebenarnya ia tak pernah terlibat langsung dalam perang melawan Spartacus – paling tidak keterlibatannya tak pernah tercatat sejarah.
Baik Crassus dan Caesar membuktikan diri mereka sebagai lawan yang
tangguh bagi grup budak yang dipimpin oleh Spartacus. Dua bintang baru
yang bergabung di sini: Simon Merrells dan Todd Lasance memberikan
performa yang sangat bagus. Saya terutama sangat menyukai Merrells di
episode pertama di mana dia langsung bisa menunjukkan dirinya kepada
penonton kenapa ia merupakan lawan yang pantas menjatuhkan Spartacus.
Kendati masih kalah setingkat dari Batiatus (John Hannah is still the best
villain) Crassus merupakan peningkatan pesat dari Glaber. Setali tiga
uang dengan Julius Caesar, Todd Lasance juga cukup memakai satu episode
perkenalannya untuk menunjukkan performanya yang fantastis. Saya tak
setuju sebenarnya menyebut kedua orang ini antagonis tetapi lebih
sebagai anti-hero dalam serial ini. Satu-satunya orang yang pantas
disebut sebagai antagonis adalah Tiberius – anak dari Crassus – yang
diperankan Christian Antidormi. Semula hadir sebagai seorang bocah
berwajah ganteng ala boyband, ia akan menjadi sosok yang paling
menyebalkan dan kubenci di season ini.
Dalam season ketiga ini saya sangat salut dengan penampilan Liam McIntyre. Apabila di season kedua ia masih membutuhkan waktu beradaptasi di beberapa episode awal (terutama karena penonton juga masih membiasakan diri dengan perubahan sosok Spartacus dari almarhum Andy Whitfield ke dirinya) maka di season ketiga ini Liam McIntyre sungguh menunjukkan peran Spartacus sudah sepenuhnya ia kuasai. Ia tampak lebih kekar dan penampilannya dalam koreografi aksi lebih luwes. Tak hanya itu kini ia juga memancarkan rasa hormat dari raut mukanya yang tenang dan intonasi kata-kata yang tak sekedar lembut tetapi juga wibawa. Sebagai tiga ajudannya Manu Bennett (Crixus), Dustin Clare (Gannicus), dan Dan Feuerriegel (Agron) juga tampil bagus dalam porsi mereka masing-masing. Utamanya adalah Crixus yang di sini sering bersilang pendapat dengan Spartacus. Dalam sejarah memang telah tercatat bahwa Spartacus dan Crixus memiliki perbedaan dalam strategi berperang mereka dan saya bersyukur bahwa serial ini mengikutinya.
Bicara soal akurasi sejarah saya salut dengan penulis skenario untuk
serial ini yang mampu mencapat keseimbangan yang enak antara kisah
fiktif dan sejarah. Secara garis besar semua rangkuman yang kamu baca
dalam situs Wikipedia dan buku-buku sejarah lain Spartacus benar, tapi
di sisi lain mereka masih bisa memasukkan berbagai kisah dan karakter
fiktif di dalamnya, membuat serial ini tetap bisa memancing rasa
penasaranmu mengenai apa yang akan terjadi pada karakter-karakter di
dalamnya. Tentu saja bagi kalian yang menyukai kekerasan dan seks yang
sudah menjadi trademark serial ini dari season pertamanya tetap akan
mendapatkannya di sini walaupun kandungannya sudah banyak berkurang.
Saya malahan merasa beberapa adegan seks yang muncul dalam serial ini
terasa agak… dipaksakan. Satu dari sedikit sedikit sekali kekurangan
pada season yang fantastis ini.
Sulit menulis review ini dan tak menyinggung sama sekali tentang series finale yang begitu menggugah. Selama mengikuti dunia serial TV saya sudah sering melihat penutup-penutup yang memuaskan mulai dari Chuck, Friends, Lost, dan banyak lainnya. Episode terakhir Spartacus yang berjudul Victory sungguh layak mendapatkan posisi sebagai satu dari ending terbaik yang pernah kutonton. Pertempuran terakhir Spartacus melawan pasukan Roma merupakan salah satu tontonan paling epik yang pernah kutonton di layar kaca dan bisa bersanding secara visual dengan Blackwater dari Game of Thrones season dua lalu. Saya bahkan berani mengatakan kalau Victory secara keseluruhan masih setingkat lebih baik karena besarnya rasa emosi penonton pada karakter-karakter yang selama ini telah menemani mereka selama empat tahun. Meminjam kata-kata khas serial ini: “Fuckin’ epic!“.
So my verdict is… Spartacus: War of the Damned
adalah sebuah season penutup yang luar biasa dari serial yang fantastis
dan selalu bisa mempertahankan kualitasnya sejak awal hingga akhir.
Apabila kalian mencap ini sekedar serial yang mengagungkan kekerasan dan
seks maka hey, it’s your loss for missing one of the best sword and
sandal series!
sumber : Tukangriview.com
Dengan kematian dari Batiatus dan Glaber, Lucretia dan Illythia maka semua lawan-lawan yang dihadapi oleh Spartacus dari dua season sebelumnya sekaligus yang membuatnya menjadi dipenjara telah mati dan hilang. Siapa yang pantas menjadi musuh Spartacus bila begitu? Steven S. DeKnight tak kehabisan akal dan membawakan kepada kita musuh paling epik dalam sejarah: Marcus Crassus. Apabila kalian pernah menonton film Spartacus versi Stanley Kubrick maupun membaca Wikipedia maka kalian tentu tahu bahwa Marcus Crassus adalah orang yang sukses menumpas pemberontakan dari Spartacus. Kejutan sesungguhnya dari DeKnight adalah mengikutkan sosok Gaius Julius Caesar sebagai antagonis sekunder serial ini. Mengejutkan karena walaupun Julius Caesar memang telah hidup di era pemberontakan itu dan nantinya berteman dengan Crassus di panggung politik Roma tetapi sebenarnya ia tak pernah terlibat langsung dalam perang melawan Spartacus – paling tidak keterlibatannya tak pernah tercatat sejarah.
I AM SPARTACUS!
Dalam season ketiga ini saya sangat salut dengan penampilan Liam McIntyre. Apabila di season kedua ia masih membutuhkan waktu beradaptasi di beberapa episode awal (terutama karena penonton juga masih membiasakan diri dengan perubahan sosok Spartacus dari almarhum Andy Whitfield ke dirinya) maka di season ketiga ini Liam McIntyre sungguh menunjukkan peran Spartacus sudah sepenuhnya ia kuasai. Ia tampak lebih kekar dan penampilannya dalam koreografi aksi lebih luwes. Tak hanya itu kini ia juga memancarkan rasa hormat dari raut mukanya yang tenang dan intonasi kata-kata yang tak sekedar lembut tetapi juga wibawa. Sebagai tiga ajudannya Manu Bennett (Crixus), Dustin Clare (Gannicus), dan Dan Feuerriegel (Agron) juga tampil bagus dalam porsi mereka masing-masing. Utamanya adalah Crixus yang di sini sering bersilang pendapat dengan Spartacus. Dalam sejarah memang telah tercatat bahwa Spartacus dan Crixus memiliki perbedaan dalam strategi berperang mereka dan saya bersyukur bahwa serial ini mengikutinya.
My enemy
Sulit menulis review ini dan tak menyinggung sama sekali tentang series finale yang begitu menggugah. Selama mengikuti dunia serial TV saya sudah sering melihat penutup-penutup yang memuaskan mulai dari Chuck, Friends, Lost, dan banyak lainnya. Episode terakhir Spartacus yang berjudul Victory sungguh layak mendapatkan posisi sebagai satu dari ending terbaik yang pernah kutonton. Pertempuran terakhir Spartacus melawan pasukan Roma merupakan salah satu tontonan paling epik yang pernah kutonton di layar kaca dan bisa bersanding secara visual dengan Blackwater dari Game of Thrones season dua lalu. Saya bahkan berani mengatakan kalau Victory secara keseluruhan masih setingkat lebih baik karena besarnya rasa emosi penonton pada karakter-karakter yang selama ini telah menemani mereka selama empat tahun. Meminjam kata-kata khas serial ini: “Fuckin’ epic!“.
Rome… shall tremble!
sumber : Tukangriview.com

STILLO TIGER PARA HOTEL in - TITS MARTINĂ€ TIGER PARA
BalasHapusSTILLO TIGER PARA ford fusion titanium for sale HOTEL, L'ALAXY titanium ring STRIKE micro touch titanium trim where to buy TIGER HOTEL, L'ALAXY used ford escape titanium STRIKE titanium grey TIGER HOTEL, L'ALAXY STRIKE TIGER HOTEL, L'ALAXY STRIKE TIGER HOTEL, L'ALAXY STRIKE TIGER HOTEL, L'ALAXY STRIKE TIGER HOTEL